Popular Post

Total Pengunjung

MK: Mantan Napi Harus Tunggu 5 Tahun untuk Maju di Pilkada

Posted by On 20.44.00 with No comments

digtara.com | MEDAN - Bagi seorang mantan narapidana harus menunggu jeda waktu lima tahun setelah melewati masa pidana penjara dan mengumumkan mengenai latar belakang jika ingin mencalonkan diri dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).

Hal tersebut berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 56/PUU-XVII/2019 dibacakan pada Rabu (11/12) di Ruang Sidang Pleno MK. Permohonan ini diajukan Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).

Berdasarkan situs resmi MK, mkri.id, dalam amar putusan yang dibacakan Ketua MK Anwar Usman, Majelis Hakim Konstitusi menyatakan Pasal 7 ayat (2) huruf g Undang-Undang Pilkada bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai telah melewati jangka 65 waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan Hakim Konstitusi Suhartoyo, Mahkamah menilai calon kepala daerah yang pernah menjalani pidana, namun tidak diberi waktu yang cukup untuk beradaptasi dan membuktikan diri dalam masyarakat ternyata terjebak kembali dalam perilaku tidak terpuji.

Tidak sedikit mereka mengulang kembali tindak pidana yang sama, dalam hal ini tindak pidana korupsi. Hal ini berakibat makin jauh dari tujuan menghadirkan pemimpin yang bersih, jujur dan berintegritas.

Suhartoyo melanjutkan, sepanjang berkenaan dengan syarat menjadi calon kepala daerah/wakil kepala daerah seperti diatur dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada, ternyata terdapat dua kepentingan konstitusional yang keduanya berkait langsung dengan kebutuhan untuk membangun demokrasi yang sehat.

Dua kepentingan tersebut, yaitu kepentingan orang-perseorangan warga negara yang hak konstitusionalnya untuk dipilih dalam suatu jabatan publik dijamin oleh Konstitusi, dan kepentingan masyarakat secara kolektif untuk mendapatkan calon pemimpin yang berintegritas yang diharapkan mampu menjamin pemenuhan hak konstitusionalnya atas pelayanan publik yang baik serta kesejahteraan, sebagaimana dijanjikan oleh demokrasi dan dilindungi oleh Konstitusi.

“Dengan demikian, Mahkamah dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama bertolak dari gagasan perlindungan hak konstitusional, yaitu apakah Mahkamah akan mengutamakan pemenuhan hak konstitusional perseorangan warga negara atau pemenuhan hak konstitusional masyarakat secara kolektif,” ucap Suhartoyo.

“Dalam hal ini, Mahkamah memilih yang disebutkan terakhir. Sebab, hakikat demokrasi sesungguhnya tidaklah semata-mata terletak pada pemenuhan kondisi siapa yang memeroleh suara terbanyak rakyat dialah yang berhak memerintah, melainkan lebih pada tujuan akhir yang hendak diwujudkan yaitu hadirnya pemerintahan yang mampu memberikan pelayanan publik yang baik kepada masyarakat sehingga memungkinkan hadirnya kesejahteraan,” sambungnya.

Oleh karena itu, ia menekankan bahwa dalam proses berdemokrasi, sebelum mendahulukan sosok yang dipilih rakyat melalui suara terbanyak, secara inheren, terdapat esensi penting yang terlebih dahulu harus diselesaikan terkait kualifikasi sosok yang berkompetensi.

“Dalam konteks inilah rule of law berperan penting dalam mencegah demokrasi agar tidak bertumbuh menjadi mobocracy atau ochlocracy, sebagaimana sejak masa Yunani Purba telah dikhawatirkan, di antaranya oleh Polybius,” tegasnya.

Terkait dalil para Pemohon mengenai masa tunggu, Mahkamah tetap berpegang pada pertimbangan hukum Nomor 4/PUU-VII/2009. Dalam putusan tersebut, Mahkamah berpendapat masa tunggu haruslah diberlakukan kembali terhadap mantan narapidana yang akan mengajukan diri sebagai calon kepala daerah.

“Menimbang, berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, konstitusionalitas norma yang mengatur persyaratan calon kepala daerah sepanjang berkenaan dengan mantan narapidana harus didasarkan pada putusan a quo dan karenanya permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian,” Suhartoyo menerangkan.
Next
« Prev Post
Previous
Next Post »