Menteri Luar Negeri Indonesia, Retrno Marsudi, mengatakan bahwa gugus tugas itu nantinya akan berada di bawah Sekretariat Asean. Khususnya untuk mengawasi pelaksanaan rekomendasi penilaian kebutuhan awal (preliminary needs assessment/PNA). PNA tersebut akan disusun berdasarkan laporan tim Pusat Koordinasi Asean untuk Bantuan Kemanusiaan (AHA Centre). Tim Tanggap Darurat dan Penilaian Asean (ERAT) juga akan ikut membantu.
“PNA lebih banyak dilakukan oleh AHA dan ERAT. Tetapi kita perlu satu unit di Sekretariat Asean untuk memantau penuh implementasi dari rekomendasi. Karena itu para pemimpin sudah menyepakati akan dilakukan pendirian gugus tugas ad hoc di Sekretariat Asean” kata Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Minggu (3/11/2019).
Kesepakatan tersebut telah dicapai dalam Pertemuan Pleno Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Ke-35 Asean di IMPACT Arena, Nonthaburi, Thailand, Sabtu kemarin. Pertemuan pleno dihadiri para 10 kepala negara/pemerintahan anggota Asean, termasuk Presiden RI Joko Widodo.
Menurut Menlu Retno, Indonesia memandang penting pembentukan gugus tugas ad hoc tersebut. Sehingga kemajuan tindak lanjut rekomendasi berupa aktivitas dan proyek prioritas dapat segera dilakukan. Hal itu penting guna memastikan repatriasi yang bersifat sukarela, aman, dan bermartabat bagi warga Rohingya.
“Tadi Bapak Presiden sudah menyampaikan bahwa Indonesia siap memberikan kontribusi. Kontribusi agar gugus tugas ad hoc tersebut dapat segera berdiri,” kata Retno.
PENUNJUKKAN THAILAND SEBAGAI KETUA GUGUS TUGAS
Gugus tugas tersebut akan beranggotakan para ahli yang ditentukan oleh Sekretaris Jenderal Asean. Dalam pekerjaannya mereka terlebih dahulu berkonsultasi dengan seluruh negara anggota Asean.
Pembentukan gugus tugas khusus untuk membantu repatriasi Rohingya itu juga akan dituangkan dalam dokumen Pernyataan Pemimpin KTT Ke-35 ASEAN, pada KTT ini Thailand menjadi ketua.
Pada Maret 2019, tim dari Asean-ERAT dan AHA Centre telah mengunjungi Rakhine State untuk melakukan penilaian awal tentang kesiapan Myanmar menangani kembalinya para pengungsi Rohingya.
Rekomendasi yang dihasilkan oleh tim tersebut mencakup empat komponen utama. Yaitu keselamatan fisik, keamanan material, pendaftaran Rohingya, serta penyatuan sosial (social cohesion), untuk mencegah berulangnya konflik horisontal di Myanmar.
Di sisi lain, Wakil Indonesia untuk Komisi HAM Antarpemerintah Asean (AICHR) Yuyun Wahyuningrum justru menyebut “tidak ada kemauan politik dari Myanmar untuk memulangkan warga Rohingya”.
Menurut Yuyun hal itu disebabkan etnis Rohingya dianggap bukan warga negara Myanmar.
“Saya tidak melihat di level nasional Myanmar bahwa masalah etnis Rohingya merupakan isu penting,” tutur Yuyun beberapa waktu lalu.
Tidak adanya komitmen dari Myanmar untuk memulangkan warga Rohingya, kata Yuyun, terlihat dari tidak adanya jaminan keamanan, pemulihan hak kewarganegaraan. Serta jaminan hak untuk bekerja bagi pengungsi Rohingya saat kembali ke Rakhine State.
Padahal, tanpa jaminan dari pemerintah Myanmar, para pengungsi Rohingya tidak bersedia dipulangkan ke Rakhine State tempat meletusnya konflik antara militer Myanmar dan gerakan pemberontak, yang mengakibatkan hampir satu juta warga Rohingya menyelamatkan diri dengan melintasi perbatasan ke Bangladesh pada 2017.
[AS]