Bahkan pada transaksi sebelumnya, harga minyak Brent sempat menyentuh posisi US$ 65,79 per barel, yang merupakan level tertinggi sejak 17 September lalu.
Adapun harga minyak West Texas Intermediate naik 14 sen atau 0,2% menjadi US$ 60,21 per barel.
Harga minyak terdongkrak adanya harapan akan kenaikan permintaan energi yang akan diuntungkan dari adanya kesepakatan dagang antara AS dengan China yang diumumkan pada pekan lalu.
Seperti yang diketahui, pada Jumat (13/12), Washington dan Beijing mengumumkan kesepakatan perdagangan fase satu. Pejabat AS bilang, sejumlah tarif akan dipangkas. Sebagai balasannya, China akan membeli produk pertanian AS dengan nilai yang cukup besar.
Kemajuan dari perjanjian dagang dapat mengerek permintaan minyak. Namun, Phil Flynn, analis Price Futures Group di Chicago bilang, market masih menanti perjanjian di atas kertas.
"Market berhenti sejenak untuk menanti kelanjutan dari kesepakatan dagang AS-China. Kami berupaya untuk melakukan konsolidasi apakah harga minyak bisa bertahan di atas US$ 60 sebelum akhirnya naik lebih tinggi lagi," papar Flynn.
Kesepakatan untuk menarik tarif tambahan AS atas barang-barang China senilai US$ 160 miliar akan diberlakukan pada pekan ini.
"Apa yang dibutuhkan market sekarang adalah...kejelasan mengenai detil kesepakatan. Semakin lama kita menanti detil kesepakatan ini, semakin besar keraguan pelaku pasar mengenai seberapa bagus kesepakatan yang dihasilkan," jelas analis ING Economics.
Di sisi lain, harga minyak mendapatkan sokongan dari data ekonomi China yang dirilis Senin (16/12). Data itu menunjukkan output industri dan pertumbuhan ritel penjualan China melonjak melebihi ekspektasi pada November.
Sementara, harga minyak Brent sudah mencatatkan reli di sepanjang tahun ini, karena disokong oleh pemangkasan produksi minyak oleh negara-negara Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC) dan aliansinya, termasuk Rusia. Pada bulan ini, mereka sepakat untuk menurunkan suplai minyak sebanyak 500.000 barel per hari mulai 1 Januari 2020 mendatang.