Dengan terbitnya PKPU tersebut, maka kini para koruptor yang telah menjalani hukumannya, bias kembali mengikuti pencalonan. Padahal KPU pada pemilu 2019 melarangnya meski ditolak Mahkamah Agung (MA).
Komisioner KPU, Evi Novida Ginting Manik mengatakan bahwa pada peraturan tersebut tertulis partai politik sebagai pengusung atau calon perseorangan diutamakan agar bukan mantan napi koruptor.
KPU tidak bisa melarang mantan koruptor karena tidak ada undang-undang yang mengaturnya. Ini sama seperti pemilu 2019 saat caleg eks koruptor bisa daftar karena tidak dilarang dalam Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 tentang pemilu.
“Iya kita berharap itukan dimasukkan dalam UU. Karena kita juga sekarang inikan lebih fokus pada tahapan. Jadi supaya jangan terlalu misalnya menjadi lama [karena PKPU digugat],” katanya saat dihubungi wartawan, Jumat (6/12/2019).
Evi menjelaskan bahwa pertimbangan itulah KPU hanya mencantumkan agar diutamakan bukan mantan napi koruptor pada PKPU 18/2019. Tahapan pilkada sudah dekat sehingga harus bergeral cepat.
“Tetap saja keinginan kita itu sebenernya jadi larangan. Tetapi kan kita tentu berharap itu diatur di UU sehingga nanti memperkuat,” jelasnya.
Syarat agar mengutamakan bukan mantan koruptor tertera pada PKPU 18/2019 pasal 3A ayat 3 dan 4. Pasal 4 ayat 1 h tertulis calon bukan mantan terpidana bandar narkoba dan bukan mantan terpidana kejahatan seksual terhadap anak.
[AS]